Mungkin
pertanyaan inilah yang agaknya mewakili perasaan saya akhir-akhir ini khususnya
dalam bulan syawal dimana undangan satu per satu bertamu di rumah. Ya, bulan
syawal merupakan bulan yang baik dalam menggelar pernikahan karena dianjurkan
oleh Baginda Nabi. Namun terlepas dari anjuran Nabi tersebut satu yang menjadi perhatian
saya ialah beberapa orang sekitar yang menikah ialah orang yang lebih muda dari
saya, katakanlah satu, dua tahun dibawah saya yang berarti itu dia baru saja
lulus tahun ini dan belum menerima ijazah sekolah SMAnya.
Oke, saya bisa memaklumi jika yang menikah ialah adik kelas perempuan karena ia akan ditopang kebutuhannya oleh suaminya. Namun jika yang menikah ialah laki-laki itu yang patut dipikir ulang. Laki-laki yang menikah itu yang selanjutnya akan jadi kepala keluarga dan menopang kebutuhan keluarganya. Di dalam agama memang tidak ada syarat mapan dalam menikah namun dijelaskan bahwa untuk menikah haruslah mampu.
Oke, saya bisa memaklumi jika yang menikah ialah adik kelas perempuan karena ia akan ditopang kebutuhannya oleh suaminya. Namun jika yang menikah ialah laki-laki itu yang patut dipikir ulang. Laki-laki yang menikah itu yang selanjutnya akan jadi kepala keluarga dan menopang kebutuhan keluarganya. Di dalam agama memang tidak ada syarat mapan dalam menikah namun dijelaskan bahwa untuk menikah haruslah mampu.
Nah
kejadian yang sedih bagi saya adalah laki-laki yang menikah diusia kepala 20
atau lebih sedikit belum membalas jasa orang tua mereka, kalaupun mereka telah
mampu membalas jangka waktunya masih sebentar, yah minimal mereka sudah pernah
bantu bayar SPP sekolah adiknyalah. Meskipun pada dasarnya setiap orangtua
tidak pernah menarget anaknya untuk membalas dengan membantu secara materi,
namun itu adalah wujud bakti kita kepada mereka. Tanpa bantahan. Dalam memahami
fenomena ini saya jadi berfikir seperti judul diatas apakah Nikah Muda bagian
dari Kesadaran atau Keterpaksaan? Kesadaran disini yang saya maksud adalah
meleknya anak-anak muda terhadap pemahaman agama dan norma. Jika di dalam Al
Qur’an ada ayat yang menjelaskan :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (Qs. Al-Isra’:32)
Tentu
ayat ini sudah tidak asing di telinga kita. Dengan pemahaman ini maka seseorang
menyalurkan cintanya lewat cara-cara yang dibenarkan oleh agama. Karena adanya
keinginan untuk tidak melanggar maka mereka melakukan ta’aruf kemudian menikah.
Kedua, ialah norma yang ada di dalam masyarakat. Ketika seorang berpacaran
bertahun-tahun dan kemana-mana berdua tentu menjadi pemandangan yang tidak elok
di masyarakat. Untuk mencegah perbuatan yang tidak diinginkan maka tidak perlu berlama-lama
dengan status pacaran melainkan dengan segera meresmikannya melalui pernikahan.
Sementara
keterpaksaan yang saya maksud ialah usia saat mereka nikah yang terbilang
sangat muda tentu diakibatkan oleh beberapa faktor. Cerita MBA (married by accident) adalah rahasia umum
yang sering terjadi. Nah disinilah keterpaksaan yang saya maksud. Karena sudah
terlanjur isi si perempuannya, mau tidak mau laki-laki dituntut untuk bertanggung
jawab tanpa tapi. Orang tua perempuan tidak akan menuntut si laki-laki harus
sudah bekerja, sudah mapan, sudah lulus kuliah bla bla bla, dalam kondisi
seperti ini apapun kondisinya mertua haruslah menerimanya. Keterpaksaan lain
yang saya maksud ialah pernikahan dilakukan karena sebuah tuntutan, sebagai
contoh orang tua yang terbebani dengan kebutuhan anaknya (perempuan) akan
menganjurkan anaknya untuk segera menikah kendati umurnya belum cukup. Alasannya
ialah karena dengan menikah orangtua bebas dari tanggung jawab pemenuhan
kebutuhan si anak. Meskipun pendapat ini tidak dapat digeneralisasi, fenomena
nikah muda juga disebabkan oleh terlalu dininya remaja mengenal cinta, lulus
Sekolah Dasar atau bahkan belum lulus mereka telah menjalani masa pacaran. Usia
pacaran yang terlalu dini ini pula yang kemudian mengakibatkan semakin dininya
pernikahan. Karena dirasa satu sama lain sudah merasa cocok.
Bagaimanapun
urusan menikah adalah urusan prinsipal yang setiap orang memiliki kebebasan
melaksanakannya tanpa ada campur tangan siapapun. Namun kita tak boleh menutup
mata terhadap sebab dan akibatnya. Dari beberapa fungsi pernikahan dalam buku
Perempuan karya M.Quraish Shihab bab
Nikah dan Berumah Tangga dijelaskan bahwa salah satu fungsi pernikahan ialah
fungsi ekonomi yang mana ketika seseorang belum memiliki kemampuan ekonomis
untuk membina rumah tangga agar bersabar dan memelihara diri sampai mereka
diberi keluangan oleh Allah (baca Qs.An-Nur:33).
Wallohua’lam
Hmmm...Jadi mau di(sadar)kan apa di(paksa)kan? Hehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar